Selasa, 10 Maret 2009

PANTUN SEBAGAI POTRET SOSIAL BUDAYA TEMPATAN

Pantun bagi masyarakat di kawasan Nusantara ibarat sesuatu yang begitu dekat, tetapi kini terasa jauh ketika budaya populer (low culture) makin menjadi primadona dalam industri hiburan. Dalam kondisi itu, pantun kini laksana pepatah, tak kenal maka tak sayang. Itulah yang terjadi pada pantun. Seolah-olah, ia hanya produk masa lalu yang sudah usang dan tiada berguna. Bahkan, bagi anak-anak muda di Jakarta dan beberapa kota besar di Jawa, pantun seperti tidak lebih dari sekadar produk budaya Melayu, dan oleh karena itu, dianggap hanya milik orang Melayu.

Tentu saja pemahaman itu tidaklah benar. Betul, pantun sepertinya berasal dari tradisi Melayu yang sudah begitu kuat mengakar dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Pantun boleh jadi penyebarannya sejalan dengan perkembangan bahasa Melayu yang menjadi lingua franca di kawasan Nusantara. Boleh jadi karena itu pula, dibandingkan dengan masyarakat di daerah lain, pantun bagi masyarakat Melayu sudah begitu kukuh menyatu dan sebagai media penting dalam menyampaikan nasihat berkenaan dengan tata pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat. Telusuri saja ceruk pantai dan pelosok desa di kawasan Riau, Bengkalis, Tanjungpinang, dan terus memasuki wilayah semenanjung Melayu hingga ke Malaysia, maka kita akan melihat betapa pantun telah menyatu dengan kehidupan keseharian masyarakat di sana. Dikatakan Tenas Effendy, “Orang tua-tua Melayu mengatakan, rendang kayu kerana daunnya, terpandang Melayu kerana pantunnya. Ungkapan ini mencerminkan betapa besarnya peranan pantun dalam kehidupan orang Melayu.”

Di berbagai daerah lain di Nusantara ini, pantun sudah pun dikenal masyarakat dengan sangat baik. Boleh jadi karena pantun mengandungi sampiran dan isi, serta dapat dimanfaatkan dalam berbagai kesempatan dan disampaikan dalam sembarang masa, dalam kegiatan apa pun, dan dilakukan oleh sesiapa pun juga, pantun pada gilirannya paling banyak diminati oleh masyarakat tanpa terikat oleh status sosial, agama, dan usia. Pantun menjadi sarana yang efektif yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Itulah salah satu kelebihan pantun dibandingkan gurindam atau syair. Pantun mudah saja diciptakan oleh setiap anggota masyarakat dengan latar belakang budayanya sendiri. Maka, sesiapa pun dari etnis dan latar belakang budaya mana pun, boleh saja membuat pantun.

Semangatnya sederhana. Pantun dapat digunakan sebagai alat komunikasi, untuk menyelusupkan nasihat atau wejangan, atau bahkan untuk melakukan kritik sosial, tanpa mencederai perasaan siapa pun. Itulah kelebihan pantun. “Pantun bukan sahaja digunakan sebagai alat hiburan, kelakar, sindiran, melampiaskan rasa rindu dendam antara bujang dengan dara, tetapi yang lebih menarik ialah peranannya sebagai media dalam menyampaikan tunjuk ajar.”

Sesungguhnya, jika ditelusuri lebih jauh, pantun merupakan salah satu produk budaya masyarakat Nusantara yang merepresentasikan wilayah geografi, kebudayaan, dan “potret” masyarakatnya. Maka, ketika pantun itu muncul di wilayah budaya Melayu, Batak, Sunda, Madura, Betawi, atau Jawa, tak terhindarkan petatah-petitih, nama-nama tempat dan sejumlah istilah yang berkaitan dengan budaya tempatan dengan berbagai aspek lokalitasnya, akan hadir dalam pantun yang dilahirkannya.

Pantun, seperti telah disinggung, memang seperti sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya Melayu. Sebagian besar orang beranggapan bahwa pantun sudah menjadi bagian dari kehidupan keseharian orang Melayu. Maka pantun yang dihasilkannya itu disebut sebagai pantun Melayu. Tetapi, pantun dikenal juga secara baik oleh masyarakat yang tersebar di wilayah Nusantara ini. Lalu bagaimana dengan pantun yang dihasilkan oleh orang Madura, Jawa, Betawi, Sunda, dan seterusnya. Apakah pantun yang dihasilkan mereka itu disebut juga pantun Melayu? Apakah ciri-ciri pantun—dua larik pertama sebagai sampiran dan dua larik berikutnya sebagai isi— melekat juga pada pantun yang dihasilkan anggota masyarakat di luar kebudayaan Melayu? Apakah juga jumlah kata dalam setiap lariknya sama dengan pantun Melayu? Sebagai pantun, tentu saja ciri khasnya yang mengandungi sampiran dan isi, hendaknya tidak ditinggalkan begitu saja. Tetapi, menyebutkan pantun yang dihasilkan di luar wilayah Melayu sebagai pantun Melayu, tentu juga tidaklah tepat. Itulah kekhasan pantun. Ia menjadi milik masyarakat budaya yang melahirkannya, tetapi sekaligus menjadi milik warga yang berada di wilayah Nusantara.

Penelitian yang telah dilakukan oleh para pakar atau para ahli tentang pantun menunjukkan, bahwa pantun termasuk produk budaya yang paling luas penyebarannya, paling dekat dengan masyarakat tanpa terbentur stratifikasi sosial, usia, dan agama. Sejauh pengamatan, penelitian Klinkert (1868) dan kemudian Pijnappel (1883) laksana pembuka pintu bagi peneliti lain dalam coba mengungkapkan berbagai hal berkenaan dengan pantun. Kemudian Ch. A. van Ophuysen membincangkan pantun secara luas dan mendalam yang disampaikannya sebagai pidato pengukuhan guru besar bahasa Melayu di Leiden tahun 1904. Orang Indonesia pertama yang membicarakan pantun tidak lain adalah Prof. Dr. R.A. Hoesein Djajadiningrat dalam pidatonya pada Peringatan 9 Tahun berdirinya Sekolah Hakim Tinggi di Betawi, 28 Oktober 1933.
Dikatakan Hoesein Djajadiningrat, bahwa sejak tahun 1688 pantun telah banyak menarik perhatian peneliti Barat. Sedikitnya 20-an tulisan mereka yang dibicarakan Djajadiningrat cenderung keliru memahami pantun, karena ukuran yang digunakannya tidak lain dari persajakan Barat. Kini, perbincangan pantun seperti tiada habisnya, dan di luar perbincangan itu, tidak sedikit pula orang yang coba menulis pantun, baik untuk sekadar hiburan, maupun yang sengaja ditulis untuk berbagai keperluan. Maka, tidaklah mengherankan jika di antara mereka yang menulis pantun itu, tidak sedikit pula yang sebenarnya tidak memahami konsep pantun yang benar. Pada gilirannya, yang terjadi adalah banyaknya orang membuat pantun sesuka hati, sebagaimana contoh berikut ini:

Buah salak buah kedondong
Jangan marah dong!

Ember plastik mobil bodong
Geser dikit dong

Ada pula yang diplesetkan seperti ini:
Ikan bawal dan ikan kakap
Itulah nama-nama ikan

Buah nangka dan buah mangga
Itulah nama-nama buah

Perhatikan juga catatan Daniel Dhakidae tentang pantun yang dimanfaatkan dalam kegiatan politik tahun 1993. Berikut dikutip pantun yang dimaksud:
Ujungpandang kota bestari
Banyak wisatawan luar negeri
Surabaya tempat KLB PDI
Mbak Megawati pemersatu PDI

Pantun lain yang juga berisi dukungan pada Megawati adalah berikut ini:
Batam kota industri
Singapura di depan mata
Jika ingin mendapat idola hati
Maka Mbak Mega-lah pilihannya.

Ketika Pilihan Kepala Daerah (Pilkada) diselenggarakan di Tanjungpinang (2007), pantun-pantun sejenis itu juga bermunculan. Berikut dikutip sebait pantun yang dimaksud:
Indrasakti pulau sejarah
Pulau Penyengat indah dilihat
Jika kembali diberi amanah
Kesejahteraan rakyat jadi matlamat
(Pantun Pilkada Suryatati A. Manan)

Perhatikan juga pantun berikut ini:

Pulau Bayan Pulau Penyengat
Bulang Linggi berlayar ke samudra
Kalau tuan bijak dan cermat
Pilihan pasti di nomor tiga

Dawai kawat dalam laci
Terikat-ikat sarang tabuan
Tatik-Edward pasangan serasi
Kepentingan rakyat jadi tumpuan

Jika kedua plesetan pantun di atas dan pantun “politik” memang sengaja dimaksudkan sebagai kelakar dengan membuat sesuatu yang seolah-olah pantun atau pantun yang memang digunakan untuk tujuan kampanye untuk mendukung kandidat kepala daerah, maka ada pula yang secara serius hendak membuat pantun dan menerbitkannya sebagai buku tanpa pemahaman yang benar tentang pantun. Akibatnya, selain terjadi begitu banyak kesalahan, juga dapat menimbulkan pemahaman yang keliru tentang substansi pantun itu sendiri.
***

Sebagai objek kajian, pantun memang seperti tidak pernah kehilangan pesonanya. Selalu saja ada yang coba melakukan penelitian tentang pantun dari berbagai aspek. Boleh jadi, sejak tahun 1688 sampai sekarang, perbincangan tentang pantun mencapai ribuan tulisan.

Mengingat pantun tidak terikat oleh batas usia, status sosial, agama atau suku bangsa, maka pantun, dapat dihasilkan atau dinikmati semua orang, dalam situasi apa pun, dan untuk keperluan yang bermacam-macam sesuai kebutuhan. Berbagai suku bangsa di wilayah Nusantara ini mengenal pantun dan kemudian memproduksi sendiri dengan menggunakan bahasanya, idiom-idiomnya, dan nama-nama tempat yang berada di sekitarnya. Maka, selain pantun Melayu yang sudah sangat terkenal itu, kita juga mengenal pantun Madura, Jawa, Sunda, Batak, Minangkabau, Betawi, dan sederet panjang suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Nusantara. Orang Jawa menyebutnya parikan atau ada pula yang memasukkannya sebagai wangsalan. Masyarakat Tapanuli (Batak) menyebutnya ende-ende, sedangkan orang Madura, kadang kala menyebut pantun sebagai paparegan. Ada pula yang menyebutnya kèjhung, karena ekèjhunganghi berarti dikidungkan. Tetapi secara umum masyarakat Madura lebih sering menggunakan istilah pantun. Masyarakat Betawi juga menyebutnya pantun, meskipun bahasa yang digunakannya adalah bahasa Melayu Betawi. Semangat dan isinya pun dalam beberapa hal, agak berbeda dengan pantun Melayu pada umumnya.

Begitulah, masyarakat di wilayah Nusantara ini mengenal pantun tanpa meninggalkan ciri budaya tempatannya. Perkara lokalitas, terutama yang menyangkut nama tempat, istilah, dan ungkapan tempatan itulah yang sesungguhnya membedakan pantun dari satu daerah dengan pantun dari daerah yang lain. Meskipun di dalamnya tetap terungkapkan bahwa pantun yang dihasilkan masyarakat di berbagai daerah itu sebagai produk khas budaya mereka, mereka juga umumnya memahami konsepsi pantun dengan tetap mmempertahankan adanya sampiran dan isi dengan pola persajakan a-b-a-b. Lalu ciri apa lagi yang membedakan pantun dari satu daerah dengan pantun dari daerah lain?

Pantun adalah bentuk puisi lama yang tampak luarnya sederhana, tetapi sesungguhnya mencerminkan kecerdasan dan kreativitas si pemantun. Ciri utama pantun adalah bentuknya yang dalam setiap baitnya terdiri dari empat larik (baris) dengan pola persajakan a-b-a-b. Dua larik pertama disebut sampiran, dua larik berikutnya disebut isi. Itulah ciri utama sebuah pantun, meskipun ada pula yang disebut sebagai pantun kilat yang terdiri dari dua larik.
***

Dengan mendasari konsep pantun yang terdiri dari empat larik dalam setiap baitnya, mengandung sampiran (dua larik pertama) dan isi (dua larik berikutnya) dengan pola bunyi atau persajakan a-b-a-b, usaha mencermati pantun yang terdapat dalam masyarakat Jawa, Madura, dan Betawi di Indonesia dilakukan dengan coba melihat beberapa parikan Jawa, pantun Madura, dan terutama pantun Betawi yang sebagian masih hidup di tengah masyarakat dan kerap dipentaskan di depan masyarakatnya. Dengan cara itu, kita akan dapat melihat adakah perbedaan substansial dalam pantun-pantun di wilayah budaya itu atau tidak ada perbedaan signifikan, kecuali penggunaan bahasanya yang memang berbeda.
***

Parikan atau ada pula yang menyebutnya wangsalan berikut ini, datanya dikutip dari buku yang disusun John Gawa. Pilihan data diambil dari buku itu untuk menegaskan kembali betapa pantun yang berasal dari daerah tertentu erat kaitannya dengan warna lokal, kultur tempatan, dan nama geografi. Perhatikan parikan di bawah ini berikut terjemahannya yang ditulis John Gawa:

Kuntul wulung, kuntul wulung
Penclokanne gubug suwung
Jengengekan, jengengekan
Wong mbarang kentrung golek sanakan

Kultul wulung, kultul wulung
Di gubug kosong tempatmu hinggap
Suara tinggi melambung-lambung
Ngamen kentrung cari kenalan

Sapa weruh mobat-mabite
Wong baita kaisen toya
Sapa weruh bibit kawite
Wong sak donya ra ana sing liya

Siapa tahu gerak-geriknya
Perahu diisi dengan air
Siapa tahu asal-usulnya
Di dunia tak ada duanya

Tak-ibaratna lampune lilin
Mobat-mabit kesilir angin
Ora gampang menjadi pemimpin
Dikoreksi rakyat sing miskin

Ibarat seperti lampu lilin
Gerak-geriknya ditiup angin
Tak mudah menjadi pemimpin
Dikoreksi rakyat yang miskin

Sambil mencermati terjemahan John Gawa yang agak menyimpang, parikan itu sesungguhnya hendak memperkenalkan para pelakon (seniman) kentrung. Bait pertama yang pola persajakannya a-a-b-b dan bait kedua a-b-a-b memperlihatkan adanya kandungan sampiran dan isi. Jadi tak menyalahi konvensi pantun. Tetapi sampiran pada kedua bait itu punya makna simbolik, dan makna simbolik itu berkaitan dengan isi yang hendak memperkenalkan seniman kentrung. Bait pertama misalnya: Kultul wulung, kultul wulung/Di gubug kosong tempatmu hinggap/Suara tinggi melambung-lambung/Ngamen kentrung cari kenalan, sesungguhnya terjemahannya tidaklah seperti itu, melainkan begini: Kultul wulung, kultul wulung/hinggapannya di gubug suwung /Tingkah polah tak keruan/Orang main kentrung cari persaudaraan//

Burung yang hinggap di tempat angker (suwung) adalah simbol orang Jawa yang akan memperdalam ilmu, hendak melakukan tapabrata untuk meningkatkan kualitas keilmuan dan spiritualitasnya (sampiran). Jadi, dua larik pertama sebagai sampiran dalam bait itu sesungguhnya bermakna simbolik. Pemaknaan ini penting sebab para seniman kentrung sering kali dianggap berperilaku tidak keruan, aneh, atau tidak seperti perilaku masyarakat pada umumnya. Jadi, dalam konteks itu, seniman kentrung bermaksud menegaskan, bahwa anggapan itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh profesinya sebagai seniman, dan untuk menjadi seniman (kentrung), ia harus melewati syarat-syarat tertentu dalam penguasaan ilmu kanuragan atau yang berkaitan dengan kualitas spiritual. Meskipun demikian, pentas keliling (manggung) seniman kentrung tidaklah semata-mata mencari nafkah atau sekadar menghibur, melainkan silaturahmi, mencari persaudaraan, menyampaikan ajaran-ajaran moral keagamaan: Tingkah polah tak keruan/Orang main kentrung cari persaudaraan. Jadi, tingkah polah yang dianggap tidak keruan itu semata-mata lantaran profesinya sebagai seniman, sebagai pendakwah yang hendak menyampaikan ajaran keagamaan. Oleh karena itu, ia harus berkeliling dari satu tempat ke tempat lain sebagai wujud silaturahmi dan tugas sebaai pendakwah.

Bait kedua makin jelas usaha penegasan seniman kentrung tentang keberadaan dan profesinya. Sapa weruh mobat-mabite/Wong baita kaisen toya/Sapa weruh bibit kawite/Wong sak donya ra ana sing liya yang diterjemahkan John Gawa sebagai: Siapa tahu gerak-geriknya/Perahu diisi dengan air/Siapa tahu asal-usulnya/Di dunia tak ada duanya//. Tampak di sini, Gawa gagal memahami spiritualitas orang Jawa. Mestinya terjemahnya sebagai berikut: siapa yang tahu kesemrawutannya /(laksana) orang naik kapal (yang) terisi air/siapa yang tahu asal-muasalnya/orang sedunia tak ada yang lain// Larik ini hendak menegaskan bahwa barang siapa yang memahami tingkah polah (seniman kentrung) laksana seseorang yang naik perahu atau kapal yang terisi air. Bukankah orang yang naik perahu yang di dalamnya terisi air memerlukan keberanian dan tanggung jawab. Ia harus membuang air itu agar perahu atau kapal itu tidak tenggelam. Dan kapal atau perahu merupakan simbol kehidupan. Hal tersebut ditegaskan lagi pada larik berikutnya: siapa yang memahami asal-muasalnya/orang sedunia tak ada yang beda. Artinya, hanya orang yang tahu sebab-musabab kekacauan itu, ia akan sampai pada pemahaman, bahwa manusia di dunia ini hakikatnya sama.

Bait ketiga: Tak-ibaratna lampune lilin/Mobat-mabit kesilir angin/Ora gampang dadi pemimpin/Dikoreksi rakyat sing miskin yang diterjemahkan Gawa sebagai berikut: Ibarat seperti lampu lilin/Gerak-geriknya ditiup angin/Tak mudah menjadi pemimpin/ Dikoreksi rakyat yang miskin// Seharusnya terjemahannya begini: Diibaratkan api lilin/Bergerak-gerak tertiup angin/Tak mudah menjadi pemimpin/Dikoreksi rakyat yang miskin// Jadi, kehidupan seniman kentrung atau kehidupan manusia pada umumnya laksana api lilin yang tertiup angin. Penuh cobaan, tantangan, cabaran. Maka, ketika seniman kentrung atau siapa pun, tampil sebagai anutan (pemimpin dalam arti luas), ia harus siap menerima kritik dan aspirasi rakyat.

Begitulah, ketiga bait parikan itu sesungguhnya dimaksudkan sebagai sindiran kepada masyarakat atas keberadaan seniman (kentrung). Sejumlah parikan Jawa pada umumnya memang digunakan untuk menyampaikan pesan moral. Maka, di sana, muncul kearifan lokal (local genius), karena erat berkaitan dengan dunia di sekitarnya dan kultur tempatan. Oleh karena itu, sejumlah istilah dan nama-nama tertentu sering kali tak mewakili makna yang sesungguhnya ketika ia diterjemahkan ke bahasa lain. Periksalah beberapa parikan berikut ini:

Lelene mati dithutuk
Gawa mrene tak-sujenane
Yen rene ran ate pethuk
Ndang mrene tak-entenane

Ikan lele mati dipukul
Bawa kemari kan kutusuk
Jika kemari tidak pernah bertemu
Segera ke sini kan kutunggu

Demikian parikan Jawa—sebagai pantun—sesungguhnya tidak sekadar mengandungi sampiran sebagai isyarat untuk memasuki isi tentang ajaran moral atau ajaran etik, tetapi juga memperlihatkan kehidupan sosial budaya tempatan. Jika dalam pantun Melayu sampiran tidak ada kaitannya dengan isi, maka dalam parikan Jawa, sampiran dalam beberapa kasus menyampaikan makna simbolik. Jadi ia berfungsi memberi tekanan pada isi. Hal yang hampir sama terjadi pada pantun Madura yang disebut paparegan atau ada pula yang menyebutnya kèjhung, karena ekèjhunganghi berarti dikidungkan. Seperti juga pantun bagi masyarakat Melayu dan Jawa, paparegan digunakan orang Madura untuk menasihati anak-anaknya, agar rajin bekerja, tidak malas, dan punya rasa malu jika mengemis, meminta, dan tidak pernah memberi. Pentingnya bekerja keras, membanting tulang, bagi orang Madura adalah perbuatan yang mendapat penghargaan begitu tinggi, sebab hanya dengan cara itu, ia akan memperoleh penghasilan lebih baik; ia akan dapat menafkahi keluarganya, bahkan juga dapat membantu sanak-saudaranya. Maka, bekerja keras digambarkan dengan olléna pello koning, peluh berwarna kuning yang mengucur dari tubuh akibat bekerja keras.

Jika bekerja keras mendapat tempat yang terhormat, maka sebaliknya, orang Madura sangat membenci sikap malas. Itulah sebabnya, orang Madura sangat menekankan anak-anaknya agar tidak bermenantukan orèng ta’ pélak, anak malas, dan kurang baik perilakunya. Pantun dalam lagu anak-anak berikut ini menggambarkan hal yang demikian:

Bing anak, ta’ enda’ nyémpang jalanna
Bing anak, jalanna tombui kolat
Bing anak, ta’ enda’ ngala’ toronna
Bing anak, toronna oréng ta’ pélak.

Anakku, aku tidak mau melewati jalan itu
Anakku, jalan itu ditumbuhi jejamur
Anakku, aku tidak mau menjadikannya menantu
Anakku, ia keturunan yang wataknya hancur

”Melalui pantun, orang Madura mengajari anak-keturunannya untuk menjauhi parséko, yaitu sebuah tindak yang tidak sopan di mata orang lain (ta’ parjugha). Perhatikan paparegan berikut:

Orèng males tadhâ’ lakona,
Lakona ngokor dhâlika,
Palerres tèngka lakona,
Ma’ kantos kacalè dhika.

Orang malas tak mau bekerja,
kerjanya mengukur tempat tidur,
yang baik dalam bekerja
agar engkau tidak ditegur

Begitulah, salah satu sikap yang dijunjung tinggi orang Madura adalah pentingnya manusia melakukan perbuatan yang berguna bagi manusia lain. Oleh karena itu, sejak dini orang-orang tua mengajak dan menekankan anak-anaknya agar memperhatikan tindak perbuatan yang baik yang berguna bagi masyarakat. Pesan-pesan moral yang seperti itu juga muncul dalam sejumlah paparegan nasihat, di samping juga menekankan pentingnya menjalankan syariat Islam, sebagaimana yang dinyatakan dalam filosofi orang Madura, bahwa sejak bayi orang Madura telah berbantalkan syahadat, berpayungkan perlindungan Allah, dan berselimutkan shalawat (bantal sadhat apajung Alla asapo’ salawat).

Perhatikan beberapa paparegan berikut ini:
Arè’na arè’ alalancor,
Èghulunga èkalama’a
Rè-karè oca’ taloccor
Mon burung sè bâremma’a

Celuritnya celurit lancor
Akan digulung dijadikan alas
(cinta) sudah terlanjur diungkapkan
Jika gagal bagaimana jadinya

Bagi masyarakat Madura, celurit adalah simbol kehidupan. Dalam hal ini, sampiran jadi punya makna simbolik untuk menegaskan isi. Munculnya kata celurit menjadi penting, sebab ia berkaitan dengan pemaknaan orang Madura atas benda itu. Maka, jika celurit sudah dijadikan alas, dasar, pegangan, itu berarti tuntutan yang harus diperjuangkan. Dalam hal bercinta, agaknya orang Madura mempunyai harga diri yang seperti itu ketika cinta sudah dinyatakan. Kegagalan berarti kekalahan, kepencundangan martabat diri. Oleh karena itu, orang Madura jarang sekali yang gampang menyatakan cinta kepada kekasihnya, sebelum ia yakin bahwa kekasihnya itu akan membalas cintanya. Dan ketika pernyataan cinta itu bersambut, tidak ada yang boleh berkhianat. Kesetiaan dengan segala konsekuensinya menjadi tanggung jawab bersama. Begitulah, dalam pantun itu kita dapat memperoleh gambaran tentang watak dan filosofi orang Madura. Paparegan tidak hanya sebagai ekspresi diri atau sebagai media komunikasi, tetapi juga sebagai manifestasi sikap budayanya. Perhatikan lagi paparegan berikut ini:

Bânnya’ macem cabbhi rorro,
Ta’ mara cabbhi mekkasan,
Pon bânnya’ lancèng sè terro,
?pènta’a marè tellasan.

Aneka ragam lombok gugur
tak seperti lombok Pamekasan,
sudah banyak pemuda jatuh hati,
akan dipinang setelah lebaran

Sampiran, seperti juga pada paparegan lainnya, sesungguhnya juga bermakna simbolik. Lombok, garam, tembakau, atau padi yang umumnya menjadi wilayah mata pencaharian masyarakat Madura, juga merupakan simbol penghidupan mereka. Jika lombok ambruk atau gagal panen padi, itu berarti musibah. Tetapi, lombok para petani Pamekasan, biasanya punya kualitas yang baik, dan orang Madura cenderung over convident atas kerja keras mereka. Jadi, sampiran yang menunjukkan lombok Pamekasan punya kualitas yang baik, sesungguhnya simbolisasi atas keyakinan lelaki Madura, bahwa meski banyak pemuda yang menaksir sang kekasih, dialah yang akan meminangnya setelah hari raya. Lalu mengapa pula selepas hari raya? Itulah potret tradisi masyarakat Madura yang beranggapan bahwa bulan yang baik untuk menyelenggarakan pesta perkawinan adalah bulan syawal (selepas hari raya). Jadi, isi paparegan tadi juga merepresentasikan sikap tradisi budaya tempatan: masyarakat Madura.

Sejumlah besar paparegan Madura menunjukkan bahwa sampiran, kadangkala mengandung makna simbolik untuk menegaskan isi. Di samping itu, seperti juga parikan Jawa, istilah atau kata-kata tertentu yang muncul di sana, sering kali erat kaitannya dengan warna lokal. Dengan demikian, paparikan Jawa atau paparegan Madura, sesungguhnya dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk memahami sikap budaya dan berbagai persoalan etik masyarakatnya. Paparegan di bawah ini juga menunjukkan hal yang demikian.

Ngarè’ belta nyambi sadhâ’
Mon motta èsambi kèya,
Tadhâ’ kasta neng è adhâ’,
Ghi’ kasta èbudhi kèya.

Menyabit benta pakai sadha’
rumput teki dibawa juga,
tidak ada penyesalan di depan,
tetapi menyesal di belakang hari

Mellè bhâko bân kalampok,
Ngangghuy kocca nengghu tok-tok,
Rèng sabangku padhâ kopok,
Mon acaca salang ghettok.

Membeli tembakau dan jambu air,
memakai kopiah nonton toktok
orang sebangku semuanya tuli,
kalau berbicara saling ketuk.

***
Berbeda dengan paparikan Jawa dan paparegan Madura yang mendasari datanya dari teks yang disusun penulis lain, data mengenai pantun Betawi bersumber dari hasil penelitian yang kami lakukan beberapa waktu lalu (Juli—September 2008). Pantun Betawi masih tersebar di wilayah budaya Betawi yang meliputi pinggiran Krawang, Tambun, Bekasi di bagian Timur; Depok, Cimanggis, Cibinong, dan Ciputat di bagian selatan; dan Tanggerang di bagian timur. Adapun di wilayah Jakarta sendiri yang menjadi daerah penelusuran pantun Betawi, dilakukan di kawasan yang diperkirakan masih banyak dihuni masyarakat Betawi asli. Wilayah-wilayah itu meliputi daerah pesisir utara (Marunda, Pasar Ikan, Tanjung Priok), Jakarta Pusat (Tanah Abang, Glodok, Senen), Jakarta Selatan (Condet, Cipete, Pasar Minggu, Pondok Labu, Lenteng Agung, dan perkampungan Betawi di Jagakarsa). Di samping coba melakukan penelusuran di wilayah-wilayah tersebut, usaha menghimpun pantun berbahasa Melayu—Betawi ini juga dilakukan berdasarkan sumber-sumber tertulis. Sejumlah buku, majalah, dan suratkabar terbitan awal (1891) kami periksa. Ternyata, di dalamnya termuat sejumlah pantun yang menggunakan bahasa Melayu pasar yang dalam bahasa Betawi (lisan) mempunyai banyak persamaan. Itulah salah satu alasan dimasukkannya pantun Betawi dari sumber tertulis.

Semua pantun, baik yang disampaikan secara lisan, maupun yang sudah tersedia dalam bentuk tertulis, diseleksi lagi berdasarkan konsep pantun. Dengan demikian, pantun Speelman sebagaimana yang dikutip Hoesein Djajadiningrat tidak kami masukkan sebagai pantun Betawi mengingat bentuknya yang tidak memenuhi syarat sebagai pantun. Demikian juga “Pantun Anak-Anak Cina.” Meski di sana diberi judul pantun, syarat sebagai pantun tidak dapat kita jumpai di sana, sebagaimana yang tampak dalam beberapa larik berikut ini:

Lihat anak Tjina, bagai pinang muda
Rindoe pada dya pandang pada sorga

Lihat anak Tjina, bagai satoe boeroeng
Rindoe pada dya bagai soedah koeroeng

Lihat anak Tjina, bagai bidadari
Bangoen dari tidoer datanglah kamari

Lihat anak Tjina, bagai bidadari
Roepa bagai boenga bangatlah kamari

Meskipun usaha menghimpun pantun Betawi ini salah satu dasar kriterianya berlandaskan adanya syarat-syarat pantun, dalam hal bahasa, kosa kata, dan cara pengucapan, kami sajikan sebagaimana adanya. Maka, jika dicermati betul, akan tampak seperti adanya ketidakkonsistenan. Kata kue, misalnya, ada yang diucapkan kuwe, tetapi ada pula yang diucapkan kue. Demikian juga kata reformasi, diucapkan repormasih. Begitulah, sejumlah kosa kata dibiarkan sesuai pengucapannya.

Satu hal yang sangat menonjol dalam pantun Betawi ini adalah kuatnya ciri yang menunjukkan ekspresi yang spontan. Hampir semua sampiran memperlihatkan nada yang demikian. Boleh jadi semangat dan ekspresi spontanitas itu didasari oleh keinginan untuk membangun kesamaan bunyi: a-b-a-b. Oleh karena itu, sampiran umumnya tidak ada kaitannya dengan isi. Sampiran seperti terlontar begitu saja, lepas, bebas, tanpa beban. Perhatikan contoh berikut:

Ngisi tinta pulpennya bersih
Buru-buru gambarin kura
Biar nyata direpormasih
Guru-guru belon gumbira

Mbelah nangka di daon waru
Daon digelar ama pengejeg
Sapa nyangka nasibnya guru
Pagi ngajar sorenya ngojeg

Berkenaan dengan isi pantun, sejumlah besar pantun Betawi, selain coba mengungkapkan berbagai nasihat yang berkaitan dengan etika, moral, adab, sopan santun, dan ajaran-ajaran agama, juga begitu banyak memuat kritik sosial. Maka, kita akan melihat, betapa pantun Betawi boleh dikatakan sebagai representasi dinamika kehidupan sosial budaya, dan sejarah masyarakat Betawi. Perhatikan beberapa pantun Betawi berikut ini:

Ke Setu ngorak kecapi
Kedebong ditebang sepuun
Baru satu dia punya tipi
Eh, sombongnya minta ampun

Cimuning jalannya redug
Abis ujan disamber kilat
Baju kuning nyeng nabuh bedug
Abis ajan malah gak solat

Kerangkeng di Buni Bakti
Baca patehah di Pondoksoga
Badan bongkeng ‘dah deket mati
Masih betingkah bininya tiga

Kura-kura masukin sarung
Bapak ertenya maen perkusi
Orang Madura takut pulang kampung
Grobog satenya kena operasi

Bangau terbang tinggi membumbung
Burung onta lebar sayapnya
Orang Betawi takut ninggalin kampung
Sebelum tanah waris kejual semuanya

Begitulah bagaimana masyarakat Betawi menyikapi perubahan zaman dalam tata kehidupan mereka sehari-hari dalam bentuk pantun. Akibatnya, sejumlah pantun, selain memuat kritik sosial dan potret masyarakatnya, juga laksana hendak mengusung semangat egalitarian. Peristiwa apa pun, termasuk kehidupan di dalam rumah tangga, dan hubungan menantu—mertua, dapat disampaikan secara lepas. Periksa beberapa pantun berikut ini:

Kopi kentel rasa lambada
Mencet piano lagu si centeng
Mantu batal ke rumah Baba
Takut disuruh betulin genteng

Kayu rengas ditebang patah
Dibikin tatal mbenerin pintu
Muka bringas lagunya mentah
Kaga bakalan dipungut mantu

Gatotkaca terbang ke awan
Dewi Batari gampang ketawa
Lu kudu ngaca, nanya ‘ma kawan
Tiap ari numpang mertua

Cikini di dekat Kwitang
Ngetanan dikit makam tetua
Biar begini aye gak punya utang
Cuman makan numpang mertua
Buah pinang buah belimbing
Betiga ame buah mangga
Sungguh senang berbapak suwing
Biar marah tertawa juga

Terigu, garam sama beras
Dicampur oncom dijadiin dage
Cucu aja udah sebelas
Blagu lagaknya sok a-be-ge

Pantun-pantun yang seperti itu sememangnya sangat lazim disampaikan secara lisan dalam pentas pembacaan pantun. Bahkan, begitu bebasnya orang Betawi menanggapi apa pun yang berkaitan dengan persoalan kehidupan sehari-hari, maka tidak sedikit pula pantun Betawi yang selain mengungkapkan kritikannya atas persoalan sosial budaya yang terjadi ketika itu, juga mengungkapkan kehidupan suami—istri dalam rumah tangga. Perhatikan beberapa pantun berikut ini:

Orang Londo berbadan lebar
Kepentok tiang kepala benjol
Kalo kebelet gak bisa sabar
Kambing pun jadi kliatan bahenol

Kedebong pisang si tali waru
Waluh masak rebusnya labuh
Abong-abong penganten baru
Masuk isa tembusnya subuh

Pacul tajem nebelin tanggul
Pedangnya muntul musti diganti
Uncul dua jem, belom juga gul
Tendang ajah pake pinalti

Ngincer tembakan kudu dikeker
Jambak ajah dia punya kuping
Daripada kedakar-kedeker
Hajar ajah sembari nyamping
***

Dari perbandingan sejumlah pantun Melayu, Jawa, Madura, dan Betawi sebagaimana yang sudah dibicarakan di atas, jelaslah bahwa pantun di satu daerah dengan daerah selalu memperlihatkan adanya persamaan dan sekaligus juga perbedaan. Kesamaan umum terletak pada fungsi pantun yang secara sadar digunakan untuk kepentingan menyampaikan pesan-pesan moral dan etik tentang tata kehidupan. Kesamaan lain terletak pada ciri-ciri pantun yang ditandai dengan adanya sampiran dan isi. Hanya, jika sampiran pada pantun Melayu lebih ditujukan untuk mengantarkan isi, tanpa ada kaitan logis antara sampiran dan isi, pada pantun Jawa dan Madura, dalam beberapa kasus, justru berfungsi untuk menegaskan isi. Oleh karena itu, sampiran kadangkala juga bermakna simbolik. Jadi, dengan demikian, kehadiran sampiran tidak sekadar sebagai pengantar memasuki kesamaan bunyi isi, tetapi sekaligus pengantar pada tema atau persoalan yang hendak disampaikan.

Sampiran pada pantun Betawi berfungsi sebagai pengantar pada kesamaan bunyi isi (a-b-a-b), sama halnya dengan pantun Melayu. Tetapi, kesan yang muncul pada pantun Betawi adalah kelugasan dan semangat spontanitas, tanpa beban, bebas, lugas, dan terkesan disampaikan sesuka hati. Meskipun demikian, kekhasan pantun Betawi terletak pada isi pantun yang cenderung menjadi sarana untuk mengkritik apa pun, juga tanpa beban. Akibatnya, persoalan apa pun, yang berat atau ringan, dapat dijadikan pantun yang disampaikan secara enteng.

Dari sejumlah perbandingan itu, makin jelas bagi kita, bahwa pantun selain sebagai sarana menyampaikan pesan moral dan pesan etik, juga di dalamnya merepresentasikan kultur tempatan. Oleh karena itu, mempelajari pantun sesungguhnya dapat juga dijadikan sebagai pintu masuk untuk memahami kehidupan sosial budaya masyarakatnya.
Kiranya demikian ….

18/10/2008/mklh/pantun/seminar KL

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Kamal, et al. (Peny.), Sempana: Himpunan Esei Penelitian oleh Sarjana
Kesusasteraan Melayu Antarbangsa, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,
1994, hlm. 149—164.

Alisjahbana, Sutan Takdir. Puisi Lama. Djakarta: Pustaka Rakjat, 1961.

Aminurrrashid, Harun. Kajian Puisi Melayu. Singapore: Pustaka Melayu, 1960.

Bachri, Sutardji Calzoum. “Pantun” (Kompas, 14 dan 21 Desember 1997.

——————————. Isyarat. Yogyakarta: Indonesia Tera, 2007.

Bakar, Zainal Abdin. Kumpulan Pantun Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,
1984.

Braasem, W.A. Pantuns. Djakarta-Amsterdam-Surabaia: De Moderne Boekhandel Indonesie,
1950.

Braasem, W.A. “Seorang Romantikus Djerman tentang Pantun,” Zenith, Th. III, No. 1,
Djanuari 1953, hlm. 45—53

Dhakidae, Daniel. “Sampiran, Isi, dan Sisi-Sisi Kehidupan menurut Pantun.” John Gawa.
Kebijakan dalam 1001 Pantun. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, hlm. 27—34.

Djajadiningrat, R.A. Hoesein. “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib,” Poedjangga Baroe, No. 6,
Th. I, November 1933, No. 8 dan 9, Th. I, Pebroeari – Maret 1934.

Effendy, Tenas. Khazanah Pantun Melayu Riau, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,
2007

Gawa, John. Kebijakan dalam 1001 Pantun. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006,

Hutomo, Suripan Sadi. Telaah Kesusastraan Jawa Modern. Jakarta: Universitas Indonesia,
1975.

Ikram, Achadiati.“Pantun dan Wangsalan,” Ilmu Sastra Indonesia, No. 22, 1964.

———————. Filologia Nusantara. Jakarta: Pustaka Jaya, 1997.

Intojo. “Pantun,” Indonesia, No. 4 dan No. 7, Th. II, April dan Djuli 1952.

Junus, Hasan. Pantun-Pantun Melayu Kuno, Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2001.

Mahayana, Maman S. “Lebih Jauh tentang Pantun,” Sembilan Jawaban Sastra Indonesia,
Jakarta: Bening Publishing, 2005.

————————- (Ed.). Pantun di Negeri Pantun. Jakarta: Yayasan Panggung Melayu,
2008.

Mahayana, Maman S., dkk. Pantun Betawi: Refleksi Dinamika Sosial Budaya Masyarakat
dalam Pantun Melayu—Betawi. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2008.

Prampolini, Giacomo. “Pantun dan Bentuk Sadjak lain dalam Puisi Rakjat.” Zenith, Th. I, No.
11, November 1951, hlm. 666—671.

Prampolini, Giacomo. “Pembicaraan Buku W.A. Braasem/R. Nieuwenhuis ‘Puisi Rakjat dari
Indonesia,” Zenith, Th. III, No. 8, Agustus 1953, hlm. 486.

Pantun Melayu. Jakarta: Balai Pustaka, 2004 (Cet. Ke-14, Cet. I, 1920).

Pijnappel, J.“Over de Maleische Pantoens.” Bijdragen tot de taal, Land en Volkenkunde van
Nederlands—Indie, 1883.

Poedjawijatna, I.R. “Peralihan Kesusasteraan Indonesia dari Lama ke Baru.” Basis, No. 3,
Th. V, Februari 1954.

Rosidi, Ajip, dkk. Ensiklopedi Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya, 2000.

Sahhabat-Baik, No. 1, 1891, hlm. 1. (tanpa tanggal dan bulan), diterbitkan Datoe Soetan Maharadja atau di toko toewan Klitsch & Holtzapffel di Padang

Supratman, M. Tauhed. (Ed.), Pantun Madura Puisi Abadi. Pamekasan: (?), 2000. (Naskah

harga jual blackberry iphone laptop murah


harga jual blackberry iphone laptop murah


harga jual blackberry iphone laptop murah


harga jual blackberry iphone laptop murah


harga jual blackberry iphone laptop murah


Web Directory Indonesia

3 komentar: